Oleh: Nadirah Magrabi, S.Pd
Bermula dari senang melebihkan cerita atau menyembunyikan fakta, lama-lama berbohong bisa jadi kebiasaan. Bagi sesosok anak yang kerap berbohong, andil orangtua dan lingkungan nyatanya besar juga. Meski kadang, mereka tak menyadarinya.
Suatu ketika dua anak asyik bercengkerama. Salah seorang di antaranya bercerita dengan penuh semangat: “Kemarin aku pergi sama Ayah ke Sea World, wah ikan di sana banyak deh.” Temannya segera menimpali dengan antusias yang setara dan tak mau kalah, Aku juga sudah pernah ke sana. Di sana memang ikannya banyaaak banget. Kamu tau nggak di sana juga ada putri duyung. Kamu liat nggak?”
Anak kedua yangmenimoali sepenuh hati ini nyatanya sama sekali belum pernah pergi ke Sea World. Ia hanya sering membaca tentang ikan laut dari buku. Ia lantas punya bayangan kalau di sana banyak ikan, di sana tentu ada putri duyung seperti yang ia baca dalam buku. Anak ini jelas telah berbohong dengan mengatakan pernah pergi ke tempat yang belum pernah dikunjunginya. Namun, dia merasa lancar saja merangkai info-info yang berkesesuaian dengan bayangannya soal apa itu Sea World dan keinginannya untuk bisa menyamai kisah temannya.
Sri Rahmawati, Psi, Psikolog Q Consulting mengatakan orangtua paerlu memiliki definisi yang jelas tentang bohong dan mampu membedakannya dengan fantasi. Mengetahui definisi ini penting untuk memahami fase berpikir anak. Karena pada salah satu tahapan perkembangan anak usia 4 hingga 6 tahun, memang ada tahapan yang namanya berpikir fantasi.
Dalam hal berbohong, anak tahu dan memahami bahwa apa yang dikatakan benar atau salah. Sebaliknya, untuk fantasi tidak. Dalam berfantasi, anak tidak mengetahui apakah perbuatannya itu benar atau salah. Maka, ketika anak kedua tadi mengatakan di Sea World ada putri duyung seperti yang ada di buku cerita, ini tentunya merupakan bagian dari khayalan anak-anak. Tapi, mengatakan ia pernah pergi ke Sea World padahal belum pernah jelas merupakan kebohongan.
Selain berpikir fantasi, cara berpikir anak usia 4-6 tahun pun masih sangat sederhana. Mereka bahkan seringkali mengkaitkan peristiwa yang terjadi di luar dirinya dengan dirinya. Misal, saat ditanya, “Kenapa langit berwarna biru?” Jawabannya polosnya bisa berbunyi, “Karena biru itu warna yang aku suka.”
Mengapa bohong ?
Penyebab anak berbohong banyak sekali. Pertama, untuk melindungi diri (self defense). Bohong untuk alasan ini adalah yang paling sering dilakukan anak-anak ataupun orang dewasa. Biasanya anak berbohong karena dia tahu kalau dia bicara yang sebenarnya nanti akan mendapatkan hukuman dari orangtua atau guru. Contohnya, supaya tidak mendapat hukuman guru, anak mengatakan buku Prnya ketinggalan, padahal ia belum mengerjakan PR.
Biasanya anak yang kerap berbohong demi untuk melindungi diri hidup di lingkungan yang juga kerap menerapkan hukuman yang keras. Jadi, untuk menghindari hukuman, anak menutupi fakta dengan kebohongan.
Kedua, berbohong untuk menolak mengakui (denial). Alasan ini sebenarnya hampir sama dengan self defense. Umumnya, dilakukan anak dengan menolak untuk mengakui kebenaran. Misalnya, anak menumpahkan tepung terigu dan mengotori meja dapur. Ketika ditanya siapa yang menjatuhkan, anak mengatakan tadi ada kucing lari yang menjatuhkan tempat terigu.
Ketiga, berbohong untuk harga diri (ego strength)-nya. Contohnya, untuk membanggakan keluarganya anak mengatakan,”Aku punya mobil lima.” Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Atau, seperti ilustrasi di atas, mengatakan sudah pernah pergi ke Sea World, padahal belum pernah.
Untuk bisa menelaah lebih dalam alasan bohong anak, orangtua perlu melihat faktor-faktor lainnya. Seperti usia, tahap perkembangan dan latar belakang perbuatan. Memahami faktor tersebut sangat penting untuk mengetahui langkah perbaikan dan pencegahannya.
Tahap perkembangan kognitif anak
Bohong pasti menimbulkan kerugian. Namun, sejauh mana nalar anak bisa menangkap sejauh mana kerugian yang timbul akibat berbohong? Pertanyaan ini lebih jelasnya bisa kita lihat dari teori perkembangan kognitif yang dirumuskan oleh salah seorang tokoh psikolog perkembangan anak yang sangat terkenal, Jean Piaget.
Fase pertama, anak berbohong karena mengakseleresasikan bohong dengan hukuman. Ia menghubungkan dalam pikirannya, bahwa kalau seseorang berbohong, pasti dapat hukuman. Maka, pada tahap ini, kalau misalnya ada seorang anak yang berbohong tapi tidak mendapat hukuman, bagi anak itu bohong akan menjadi sesuatu yang boleh. Fase ini seperti terikat apa yang dilakukan dengan respons yang diterima menganggapnya menjadi kaitan yang erat. Kalau ada A pasti ada B, begitu B-nya tidak ada, ia menggap berarti bohong itu boleh.
Fase kedua, anak sudah bisa mengaitkan bahwa bohong adalah perbuatan yang salah. Untuk tujuan apapun, bohong itu salah. Artinya, anak sudah mengasosiasikan perbuatan bohong itu salah. Pada tahapan kedua ini cara berpikir anak sudah bisa lebih kompleks.
Fase ketiga, biasanya menjelang usia 12 tahun. Pada fase ini anak sudah bisa memahami konsep yang lebih abstrak. Anak bisa mengaitkan bohong itu sebagai perbuatan yang tidak benar karena akan menimbulkan konflik, kerugian besar seperti merugikan orang lain, membuatnya tidak disukai teman, dan kehilangan kepercayaan dari teman-teman.
Menariknya, bila ditinjau dari proses perkembangan cara berpikir anak, diketahui bahwa tingkat kemampuan berbohong sebenarnya menunjukkan tingkat kecerdasan anak. Sebab, dengan berbohong, anak mampu menggunakan fakta yang ada untuk suatu hal yang berbeda dengan faktanya. Di sinilah pentingnya penanaman nilai dalam keluarga agar perilaku anak diarahkan sesuai dengan nilai agama.
Jadilah model kejujuran
Setiap orangtua tentulah ingin agar anaknya jujur. Tapi, tanpa sadar mereka justru sering mendorong anaknya untuk berbohong. Misalnya saat sedang tak ingin menerima tamu, sementar tiba-tiba datang tamu yang ingin menemui orangtua, maka untuk menghindari tamu itu, ibunya menyuruh anaknya berbohong. Bilangin ya, Ibu nggak ada.”
Penerapan model perilaku seperti itu tentu akan memberikan andil pada pada pembentukan kebiasaan bohong pada anak-anak. Anak akan berpikir, “Ibu kan ada, tapi aku diminta bilang nggak ada. Ibu bohong dong. Ibu saja bohong, jadi aku juga boleh bohong dong.”
Maka, model perilaku yang beanr dari orangtua menhadi sangat penting untuk membentuk kebiasaan berkata dan berperilaku jujur pada diri anak. Untuk menanamkan nilai kejujuran secara kuat di dalam keluarga, maka nilai ini harus terus-menerus diulang, baik dengan contoh teladan maupun melalui cerita-cerita hikmah dan terus disosialisasikan.
Begitupun, jangan langsung panik ketika anak ketahuan berbohong. Agar orangtua melakukan langkah berikut. Pertama, periksa terlebih dahulu apakah ucapannya itu fantasi atau bukan. Pada anak prasekolah, di saat cara berpikir mereka masih sangat sederhana seringkali ucapannya bukan bohong tapi fantasi. Namun, pada anak usia SD, dimana fantasi sudah mulai berkurang dan cara berpikirnya sudah lebih abstrak, maka kita perlu waspada. Apakah perbuatan atau perkataannya itu dilakukan untuk mengecoh orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Bila ada tujuan itu, maka perbuatan itu termasuk kategori berbohong dan harus diluruskan.
Kedua, berikan konsekuensi. Konsekuensi itu sangat penting agar anak tidak mengulang perbuatannya. Orangtua harus tegas, kadang-kadang seringkali kebohongan kecil yang dilakukan anak tidak segera diluruskan orang tua, akhirnya jadi kebiasaan, bila anak pulang sekolah membawa tempat pensil dan mengatakan bahwa itu adalah pemberian temannya, jangan langsung percaya? Segera cek, apakah benar pemerian teman ataukah milik temannya yang diambil? Bila dibiarkan, bisa jadi kebiasaan.
Sebenarnya konsekuensi dalam psikologi ini jadi tahap terakhir setelah model, pembiasaan, diskusi, baru ada hukuma. Kalau langsung hukuman, biasanya internalisasi bahwa bohong itu salah bukan sesuatu yang melekat.
Mengetahui alasan anak berbohong juga akan membantu orangtua dalam memberikan konsekuensi yang pas. Bila anak berbohong untuk melindungi temannya, maka kita perlu bersyukur bahwa di satu sisi, anak memiliki solidaritas yang baik. Namun, orangtua perlu menjelaskan agar anak tidak menganggap tindakan bohongnya dibenarkan dan boleh diteruskan. Jangan sampai karena takut mendapatkan hukuman, anak justru membuat kebohongan lain di balik kebohongannya. Kuncinya di sini adalah komunikasi antara orangtua dan anak harus berjalan baik tanpa sumbatan.
Tetapi yang paling penting, tanamkan selalu nilai kejujuran pada keluarga. Dan untuk itu, tak ada cara terbaik kecuali kita memulai dari selalu berkata dan berperilaku jujur pada diri sendiri.
Sri Rahmawati, Psi, Psikolog Q Consulting mengatakan orangtua paerlu memiliki definisi yang jelas tentang bohong dan mampu membedakannya dengan fantasi. Mengetahui definisi ini penting untuk memahami fase berpikir anak. Karena pada salah satu tahapan perkembangan anak usia 4 hingga 6 tahun, memang ada tahapan yang namanya berpikir fantasi.
Dalam hal berbohong, anak tahu dan memahami bahwa apa yang dikatakan benar atau salah. Sebaliknya, untuk fantasi tidak. Dalam berfantasi, anak tidak mengetahui apakah perbuatannya itu benar atau salah. Maka, ketika anak kedua tadi mengatakan di Sea World ada putri duyung seperti yang ada di buku cerita, ini tentunya merupakan bagian dari khayalan anak-anak. Tapi, mengatakan ia pernah pergi ke Sea World padahal belum pernah jelas merupakan kebohongan.
Selain berpikir fantasi, cara berpikir anak usia 4-6 tahun pun masih sangat sederhana. Mereka bahkan seringkali mengkaitkan peristiwa yang terjadi di luar dirinya dengan dirinya. Misal, saat ditanya, “Kenapa langit berwarna biru?” Jawabannya polosnya bisa berbunyi, “Karena biru itu warna yang aku suka.”
Mengapa bohong ?
Penyebab anak berbohong banyak sekali. Pertama, untuk melindungi diri (self defense). Bohong untuk alasan ini adalah yang paling sering dilakukan anak-anak ataupun orang dewasa. Biasanya anak berbohong karena dia tahu kalau dia bicara yang sebenarnya nanti akan mendapatkan hukuman dari orangtua atau guru. Contohnya, supaya tidak mendapat hukuman guru, anak mengatakan buku Prnya ketinggalan, padahal ia belum mengerjakan PR.
Biasanya anak yang kerap berbohong demi untuk melindungi diri hidup di lingkungan yang juga kerap menerapkan hukuman yang keras. Jadi, untuk menghindari hukuman, anak menutupi fakta dengan kebohongan.
Kedua, berbohong untuk menolak mengakui (denial). Alasan ini sebenarnya hampir sama dengan self defense. Umumnya, dilakukan anak dengan menolak untuk mengakui kebenaran. Misalnya, anak menumpahkan tepung terigu dan mengotori meja dapur. Ketika ditanya siapa yang menjatuhkan, anak mengatakan tadi ada kucing lari yang menjatuhkan tempat terigu.
Ketiga, berbohong untuk harga diri (ego strength)-nya. Contohnya, untuk membanggakan keluarganya anak mengatakan,”Aku punya mobil lima.” Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Atau, seperti ilustrasi di atas, mengatakan sudah pernah pergi ke Sea World, padahal belum pernah.
Untuk bisa menelaah lebih dalam alasan bohong anak, orangtua perlu melihat faktor-faktor lainnya. Seperti usia, tahap perkembangan dan latar belakang perbuatan. Memahami faktor tersebut sangat penting untuk mengetahui langkah perbaikan dan pencegahannya.
Tahap perkembangan kognitif anak
Bohong pasti menimbulkan kerugian. Namun, sejauh mana nalar anak bisa menangkap sejauh mana kerugian yang timbul akibat berbohong? Pertanyaan ini lebih jelasnya bisa kita lihat dari teori perkembangan kognitif yang dirumuskan oleh salah seorang tokoh psikolog perkembangan anak yang sangat terkenal, Jean Piaget.
Fase pertama, anak berbohong karena mengakseleresasikan bohong dengan hukuman. Ia menghubungkan dalam pikirannya, bahwa kalau seseorang berbohong, pasti dapat hukuman. Maka, pada tahap ini, kalau misalnya ada seorang anak yang berbohong tapi tidak mendapat hukuman, bagi anak itu bohong akan menjadi sesuatu yang boleh. Fase ini seperti terikat apa yang dilakukan dengan respons yang diterima menganggapnya menjadi kaitan yang erat. Kalau ada A pasti ada B, begitu B-nya tidak ada, ia menggap berarti bohong itu boleh.
Fase kedua, anak sudah bisa mengaitkan bahwa bohong adalah perbuatan yang salah. Untuk tujuan apapun, bohong itu salah. Artinya, anak sudah mengasosiasikan perbuatan bohong itu salah. Pada tahapan kedua ini cara berpikir anak sudah bisa lebih kompleks.
Fase ketiga, biasanya menjelang usia 12 tahun. Pada fase ini anak sudah bisa memahami konsep yang lebih abstrak. Anak bisa mengaitkan bohong itu sebagai perbuatan yang tidak benar karena akan menimbulkan konflik, kerugian besar seperti merugikan orang lain, membuatnya tidak disukai teman, dan kehilangan kepercayaan dari teman-teman.
Menariknya, bila ditinjau dari proses perkembangan cara berpikir anak, diketahui bahwa tingkat kemampuan berbohong sebenarnya menunjukkan tingkat kecerdasan anak. Sebab, dengan berbohong, anak mampu menggunakan fakta yang ada untuk suatu hal yang berbeda dengan faktanya. Di sinilah pentingnya penanaman nilai dalam keluarga agar perilaku anak diarahkan sesuai dengan nilai agama.
Jadilah model kejujuran
Setiap orangtua tentulah ingin agar anaknya jujur. Tapi, tanpa sadar mereka justru sering mendorong anaknya untuk berbohong. Misalnya saat sedang tak ingin menerima tamu, sementar tiba-tiba datang tamu yang ingin menemui orangtua, maka untuk menghindari tamu itu, ibunya menyuruh anaknya berbohong. Bilangin ya, Ibu nggak ada.”
Penerapan model perilaku seperti itu tentu akan memberikan andil pada pada pembentukan kebiasaan bohong pada anak-anak. Anak akan berpikir, “Ibu kan ada, tapi aku diminta bilang nggak ada. Ibu bohong dong. Ibu saja bohong, jadi aku juga boleh bohong dong.”
Maka, model perilaku yang beanr dari orangtua menhadi sangat penting untuk membentuk kebiasaan berkata dan berperilaku jujur pada diri anak. Untuk menanamkan nilai kejujuran secara kuat di dalam keluarga, maka nilai ini harus terus-menerus diulang, baik dengan contoh teladan maupun melalui cerita-cerita hikmah dan terus disosialisasikan.
Begitupun, jangan langsung panik ketika anak ketahuan berbohong. Agar orangtua melakukan langkah berikut. Pertama, periksa terlebih dahulu apakah ucapannya itu fantasi atau bukan. Pada anak prasekolah, di saat cara berpikir mereka masih sangat sederhana seringkali ucapannya bukan bohong tapi fantasi. Namun, pada anak usia SD, dimana fantasi sudah mulai berkurang dan cara berpikirnya sudah lebih abstrak, maka kita perlu waspada. Apakah perbuatan atau perkataannya itu dilakukan untuk mengecoh orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Bila ada tujuan itu, maka perbuatan itu termasuk kategori berbohong dan harus diluruskan.
Kedua, berikan konsekuensi. Konsekuensi itu sangat penting agar anak tidak mengulang perbuatannya. Orangtua harus tegas, kadang-kadang seringkali kebohongan kecil yang dilakukan anak tidak segera diluruskan orang tua, akhirnya jadi kebiasaan, bila anak pulang sekolah membawa tempat pensil dan mengatakan bahwa itu adalah pemberian temannya, jangan langsung percaya? Segera cek, apakah benar pemerian teman ataukah milik temannya yang diambil? Bila dibiarkan, bisa jadi kebiasaan.
Sebenarnya konsekuensi dalam psikologi ini jadi tahap terakhir setelah model, pembiasaan, diskusi, baru ada hukuma. Kalau langsung hukuman, biasanya internalisasi bahwa bohong itu salah bukan sesuatu yang melekat.
Mengetahui alasan anak berbohong juga akan membantu orangtua dalam memberikan konsekuensi yang pas. Bila anak berbohong untuk melindungi temannya, maka kita perlu bersyukur bahwa di satu sisi, anak memiliki solidaritas yang baik. Namun, orangtua perlu menjelaskan agar anak tidak menganggap tindakan bohongnya dibenarkan dan boleh diteruskan. Jangan sampai karena takut mendapatkan hukuman, anak justru membuat kebohongan lain di balik kebohongannya. Kuncinya di sini adalah komunikasi antara orangtua dan anak harus berjalan baik tanpa sumbatan.
Tetapi yang paling penting, tanamkan selalu nilai kejujuran pada keluarga. Dan untuk itu, tak ada cara terbaik kecuali kita memulai dari selalu berkata dan berperilaku jujur pada diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar