Menstimulasi Nalar Alam Sadar dan Bawah Sadar, perlukah?
Oleh : Zulkarnain, S.Pd.I
’’kami mohon do ‘a restu bapak dan ibu guru semoga pada masa mendatang kami dapat menjalankan tugas kami dengan lebih baik”.
Harap tersebut lahir dari salah seorang siswi kelas IV secara kolektifit kolegial diungkapkan tepat saat perpisahan dan kenaikan kelas disekolah kami pada 12 Juni 2010 waktu lalu di Pondok Diponegoro Klungkung. Sempat terdiam sejenak kemudian melanjutkan kata-kata perpisahannya didepan Bapak-ibu jajaran Kemenag Kabupaten Klungkung, Pengurus Yayasan, wali murid dan dewan guru MII Klungkung.
Saya terharu menyaksikannya, betapa tidak usia 11 tahun dengan sadar sepertinya sudah memetakan dirinya pada tugas-tugas masa depan. Tugas- tugas masa depan sebagaiman a ungkapnya, mungkin diartikannya sebagai jenjang lanjut pendidikannya. Tapi saya memiliki tafsir lain dari raut wajah dan semangatnya, tugas-tugas masa depan sebagaimana ungkapnya menggiring bayangan kita pada satu tantangan besar yangakan dihadapinya kelak. Tantangan masa depan yang sudah jelas sangat jauh berbeda quantum kuantitas, kualitas dengan kita hari ini. Bahkan mungkin lebih berat dari apa yang dihadapi oleh ibu bapak gurunya.
Tersadar akan bayangan tersebut, serta merta kemudian satu pertanyaan besar bermunculan dalam benak saya, apa warisan terbaik yang harus dimilikinya agar semangat faight dan survive mampu anak-anak kita pertahankan menjelang pertukaran lintas waktunya? Jika jawabannya adalah ahlaq yang baik yang berlandaskan kepada Alqur’an dan Hadist, mari kita urai untuk dinarasikan agar mudah diterima anak-anak kita.
Meng-urai dan me-narasikan, dua kata tersebut erat kaitannya dengan media, hemat saya. Membentuk sebuah media ajar agar mudah diserap dan diterima adalah pintu pertama untuk mulai me receive tradisi keilmuan yang telah lama diwariskan untuk diajarkan kepada generasi yang akan datang. Karena jika anak-anak sulit menerimanya, bagaimana bisa anak-anak kita faham nalar otak dan teksnya? Selanjutnya berserakanlah serpihan-serpihan ilmu yang tidak sampai kepadanya. Satu pesan yang tidak diterima dengan baik.
Pada konsepnya manusia bertindak dengan dua alam utama, alam sadar dan alam bawah sadar. Alam sadar terdefinisi sebagai satu aktifitas yang berlandaskan kepada fungsi otak, think, observive, search-research, sementara Alam bawah sadar kebalikan dari definisi Alam sadar, satu proses yang teorinya jelas tidak perlu fungsi otak, trust-believe, menyayangi-mengasihi karena muaranya adalah qalbu. Pertanyaan utama adalah kita dominan dimana dalam menstimulasi anak dengan dua alam yang dimilikinya? Karena bukankah ilmu yang diajarkannya sarat dengan muatan logika dan nurani? Sungguh satu pemandangan yang jelas mensulitkan kita jika, lagi sekali tidak pandai meng urai nya.
Lalu apa media yang tepat untuk sampai kepada kata mewarisi kepada anak-anak kita itu?
Dalam tradisi keilmuan Islam ada 3 sumber pengetahuannya : Irfani, Bayani dan Burhani.
1. Irfani, satu jalan keilmuan yang diperoleh dari turunan ajaran Alquran dan Alhadist.
Simpul-simpul Irfani biasanya sebagai satu jalan untuk holding, mempertahankan wahyu dengan pendekatan iman saja, tanpa proses logika. Jadi apapun yang terdapat dalam teks wahyu tidak bisa digugat dengan ilmu apapun
2. Bayani, media keilmuan yang didapat dari hasil aktifitas spiritual. Perenungan, muhasabah, Dzikir, wirid, pelatihan ESQ. Pendekatannya kurang lebih mengedepankan pengalaman-pengalamn empirik melalui aktifitas ritual diatas. Media inipun juga menggunakan hati (insting) sebagai primary prosesnya. Kemudian yang ketiga adalah
3. Burhani, satu jalan keilmuan yang utuh melibatkan kerja otak sebagaimana fungsinya. Proses keilmuan didapat dari kerja utama fungsi otak, berfikir, menimbang, bertanya, search & research, thesa-hypothesa. Lebih singkat jika 4 dikali 4 jelas hasilnya 16 adalah fungsi otak untuk mengurainya. Karena jika dijawab dengan Irfani dan bayani mungkin tidak mudah untuk menemukannya.
Tiga media tersebut kita mulai untuk menimbangnya, ada diposisi mana kita. Karena jika mendapati kita pada dominan salah satunya akan mempengaruhi output terhadap anak-anak kita. Tapi jika saya diberi ruang untuk menjawab, saya memulainya dengan mengatakan ‘’sebenarnya tiga media tersebut tidak perlu dipisah, jika melulu menggunakan irfani dan bayani saya khawatir jika anak didik kita kuat hatinya, tapi tidak terlatih otaknya. Atau jika Burhani saja, kuat logikanya tapi rapuh hatinya.”. sementara tajuk diatas diarahkan pada kegelisahan pada anak-anak kita, mampu fight & servive dimasa-masa yang akan datang.
Kesimpulan terakhir jelas ditangan ibu dan bapak guru, karena lebih menguasai medan ajar kondisi dan situasinya.
Bersiap diri sedini mungkin mempersiapkan untuk mengisi anak-anak kita itu dengan nutrisi yang baik, karena bukankah Tuhan telah berfirman :
“dan kamu sekalian manusia tiada mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi”,
satu tantangan yang menarik. ?!!! Wallahu ‘Alam
Kamis, 19 Agustus 2010
Nalar Keilmuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar